Jumat, 17 Mei 2013

Limabelas Tahun Reformasi Tidak Lebih Baik

Peneliti: 15 Tahun Reformasi Tidak Lebih Baik
Jakarta (ANTARA) - Peneliti pada Pusat Studi Sosial Politik Universitas Indonesia Ubaidillah Badrun menyatakan selama 15 tahun perjalanan reformasi tidak menjadikan Indonesia lebih baik, sesuai dengan harapan masyarakat.
"Selama 15 tahun reformasi justru terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang lebih banyak serta menyebar ke daerah," kata Ubaidillah Badrun pada diskusi "Daerah Setelah 15 Tahun Reformasi" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Anggota DPD RI MarhanyVictor Poly Pua dan politisi Partai Hanura Fuad Bawazier.
Menurut Ubaidillah, pada era reformasi yang mengamandemen UUD 1945 hingga empat kali terjadi perubahan sistem politik di mana partai politik memiliki kewenangan sangat besar yang kemudian memunculkan praktik politik oligarki dan dinasti politik karena sistem yang dibangun adalah politik biaya tinggi.
Dengan sistem politik biaya tinggi ini, menurut dia, justru berdampak negatif pada perjalanan reformasi yakni kepala daerah yang terpilih banyak yang tersandung kasus hukum.
"Pemilihan kepala daerah yang berbiaya tinggi, sehingga setelah kepala daerah terpilih dia memiliki kecenderungan melakukan praktik korupsi," katanya.
Mantan aktivisi angkatan 1998 ini juga menyoroti, kuatnya praktik oligarki di antara partai politik sehingga sering terjadi transaksi politik yang lebih membela kepentingan kelompok tertentu daripada mengakomodasi kepentingan rakyat.
Kondisi seperti ini, menurut dia, tidak menjadikan Indonesia lebih baik dan bahkan cenderung lebih buruk.
Kebijakan otonomi daerah yang diterapkan pemerintah sejak 2001,tujuannya untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di daerah sehingga mendorong kesejahteraan rakyat.
"Namun realitasnya, otonomi daerah tersebut dimanfaatkan oleh
elit-elit daerah untuk mencari jabatan dan kekuasaan, yang kemudian menimbulkan praktik korupsi di daerah," katanya.
Sementara itu, politisi Partai Hanura menyatakan pandangan yang sama dengan Ubaidillah Badrun. Menurut dia, praktik oligarki dan biaya politik yang tinggi menjadikan partai-partai politik melakukantransaksional dalam memutuskan sesuatu.
Kondisi ini, kata dia, juga mendorong kepala daerah dan pejabat publik melakukan korupsi sehingga jumlah rakyat miskin tetap tinggi di Indonesia.
"Hingga saat ini masih banyak rakyat miskin yang jumlahnya tidak berubah dibandingkan dengan sebelum reformasi," katanya.
Fuad Bawazier juga mengingatkan, setelah reformasi MPR RI menerbitkan ketetapan tentang Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN.
Namun hanya dalam wkaktu beberapa tahun, kata dia, TAP MPR tersebut seperti dilupakan orang karena praktik KKN tetap tinggi.
Anggota DPD RI, Marhany Victor Poly Pua menambahkan, dampak era reformasi di daerah bukannya terjadi percepatan pembangunan tapi Justru terjadi kemunduran.
Menurut dia, kebijakan otonomi daerah yang sasarannya untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di daerah tapi realitasnya hal itu tidak terwujud.
Anggota DPD RI dari Provinsi Sulawesi Utara ini mengakui, otonomi daerah dimanfaatkan oleh para elit daerah untuk mencari jabatan dan kekuasaan, yang kemudian menimbulkan praktik korupsi di daerah.
Marhany juga menengarai transfer dana dari pusat ke daerah yang alokasinya untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, tapi lebih sering digunakan untuk kepentingan politik daerah.(fr)

Sumber: http://id.berita.yahoo.com/peneliti-15-tahun-reformasi-tidak-lebih-baik-151709118.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar