Minggu, 27 Oktober 2013

FPI sebagai [K]aset Bangsa


Simbol Front Pembela Islam
Aset lazim digunakan dalam percakapan yang berkaitan dengan dunia ekonomi. Pengertian “aset” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [yang saya baca edisi 2008] juga kurang lebih demikian. Di sana disebutkan kalau “aset” berarti “[1] keadaan aktiva dan pasiva; [2] kekayaan; [3] modal”.  Pendeknya: aset adalah kepemilikan terhadap suatu hal yang berdayaguna.
Dalam hal penegakan hukum, memberantas kemaksiatan, dan penyakit-penyakit sosial, negara sebenarnya sudah punya “karyawan” yang memang bertugas untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti itu, macam kepolisian atau satpol PP. Dan negara tak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk itu karena di mana-mana biaya operasional “karyawan” memang sudah masuk perencanaan anggaran.

Jika untuk tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar itu negara harus memperlakukan FPI sebagai “aset”, ya negara harus tahu risikonya: membiarkan “tenaga outsource” itu melakukan pengawasan, penyidikan, penyelidikan, sampai penindakan. Risikonya jelas: rakyat diadu dengan rakyat, masyarakat akan berhadapan dengan masyarakat. Dalam situasi demikian, siapa saja bisa jadi korban.

Dengan melihat risiko-risiko macam itu, seperti yang sering kita saksikan dari sepak terjang FPI, sulit rasanya memperlakukan FPI sebagai aset. Masih dengan menggunakan pengandaian ilmu ekonomi, rasanya FPI lebih tepat disebut sebagai “liability”.

“Liability” adalah nilai hutang yang dimiliki perusahaan, baik jangka pendek atau pun jangka panjang. Bentuk “liability” bisa saja kemudian menjadi “aset”, katakanlah gedung. Tapi gedung itu dibeli dengan hutang yang tentu saja harus dibayar.

Dan, rasanya, FPI memang bukan aset bagi negara, melainkan liability bagi negara. Yang namanya aset, si pemilik bisa bebas memperlakukannya apa saja. Didiamkan dengan risiko nilai penyusutan asetnya akan terus bertambah sah-sah saja. Atau bisa saja aset itu dijual jika nilainya sedang tinggi atau dijual untuk menutupi hutang atau untuk menambah modal – macam kandungan emas di tanah Papua dijual ke Freeport, misalnya.

Pemerintah seakan mendiamkan saja apa yang dilakukan FPI. Membubarkan jelas masih jauh. Yang ada, negara malah sering melindungi apa pun yang dilakukan FPI, bahkan walaupun itu kekerasan. Bukan sekali dua polisi malah mengawal acara sweeping FPI. Saat FPI terlibat bentrok dengan warga, misalnya, jangan aneh jika polisi malah mengawal anggota FPI pulang setelah terkepung.

Apa yang terjadi menjelaskan bahwa FPI memang liability bagi negara. Macam rumah yang belum lunas dibayar, si pemilik rumah terikat sejumlah perjanjian dengan si pemberi pinjaman. Dari tak boleh mengubah warna cat, tak boleh mengubah façade, dll.

Masalahnya, “liability” yang jenisnya seperti FPI ini agak susah ditakar nilainya. Berapa nilainya? 1 milyar, 2 milyar, 10 milyar, 20 milyar? Mana kita tahu.

Mungkin kita harus bertanya pada akuntan-akuntan di perusahaan-perusahaan untuk menghitungnya. Perusahaan-perusahaan yang biasa dimintai sumbangan oleh ormas-ormas [FPI ormas atau bukan saya kurang tahu] tentu bisa memberi perhitungan yang biasanya lebih tepat, setidaknya lebih masuk akal.

Negeri ini memang punya cerita yang panjang terkait laskar-laskar partikelir macam FPI ini. Riwayatnya terentang sejak era revolusi dulu sampai era reformasi kini. Memang perlu ditegaskan kembali, riwayat keberadaan laskar-laskar partikelir macam itu memang lebih tepat disebut “liability” ketimbang “aset”.

Laskar-laskar di era revolusi, seringkali menyulitkan  gerak pemerintah saat itu. Saat Bung Hatta pada 1948 melakukan rasionalisasi dan reorganisasi tentara, laskar-laskar ini yang paling sulit untuk dikendalikan, dan akhirnya memang menjadi beban – baik beban politik maupun beban keuangan. Peristiwa Madiun 1948 adalah contoh bagaimana “liability” bernama laskar-laskar partikelir ini memang menjadi beban sekaligus persoalan politik.

Saya tidak perlu menderetkan kembali nama-nama laskar partikelir ini. Saya pernah menuliskannya di sini dalam esai berjudul “Republik Para Laskar”. Anda tinggal membaca esai saya beberapa waktu lalu itu.

Cukuplah ditegaskan di sini bahwa selama negara tetap membiarkan dan seakan tak ma[mp]u mengendalikan laskar-laskar partikelir ini, omong-omong tentang “FPI sebagai aset bangsa” itu akan terasa seperti suara sumbang yang makin lama akan makin menjemukan didengar – macam kaset yang suaranya makin kresek-kresek karena terlalu sering diputar.

Sepertinya Gamawan Fauzi tentu saja akan keberatan jika dirinya disebut sebagai “kaset bangsa”. Cukuplah Pak Presiden yang jadi “kaset bangsa” dengan lagu-lagu ciptaannya yang merdu bak buluh perindu.





Baca juga:
Legislator: Pernyataan Mendagri Soal FPI Patut Dipertanyakan
Ketua Pemuda Pancasila: tak Ada yang Boleh Mengecam FPI
Anggota DPR: FPI Tanggung, Sekalian Saja Kerjasama dengan Geng Motor
Mendagri Dianggap Disorientasi Imbau Kepala Daerah Kerja Sama dengan F …
Kini Puji FPI, Dulu Gamawan Marahi FPI  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar