Selasa, 10 September 2013

Debat Makanan Rekayasa Genetika Tak Kunjung Usai

Oleh Richard Schiffman
Bulan lalu sebuah situs populer menampilkan berita menarik: "400 Petani Hancurkan Tanaman Padi Penyelamat, dan Itu Hal yang Bagus.” 

Golden Rice (Foto: Reuters/Erik de Castro)
Awalnya dibuat untuk atasi bencana kelaparan dunia, sampai sekarang masih dilawan publik
Berita itu kemudian menjelaskan bagaimana massa di Filipina – bukan petani, seperti yang salah diklaim berita itu, namun beraneka ragam kelompok yang terdiri dari anak-anak perkotaan dan aktivis politik – menginjak-injak lahan pengujian Golden Rice, sebuah tanaman padi berwarna kuning cerah, yang varietasnya direkayasa secara genetika mengandung berbagai potongan DNA yang diambil dari jagung dan bakteri.

Golden Rice dirancang untuk mengandung kadar beta-karoten yang tinggi, zat pembentuk Vitamin A yang kurang dalam porsi makanan di Asia dan wilayah lainnya. Terdapat hingga satu juta kematian dan mungkin sebanyak setengah juta kasus kebutaan yang menimpa anak-anak setiap tahunnya disebabkan kurangnya Vitamin A.  

Insiden di Filipina itu bukan pertama kalinya para pendemo menghancurkan lahan-lahan tanaman rekayasa genetika (RG). Insiden perusakan lainnya meliputi kebun anggur di Prancis,  sugar beet di Oregon, kentang di Belgia, gandum di Australia – dan masih banyak lagi.

Namun perusakan terhadap padi yang berpotensi sebagai penyelamat dianggap sangat keterlaluan. Dan itu memicu kembali debat tak berkesudahan terkait makanan rekayasa genetika.

Tanaman-tanaman ini awalnya dibahas sebagai respons atas bencana kelaparan dunia. Dengan mengombinasikan material genetik dari beragam spesies, gandum, contohnya, bisa dibuat untuk bertahan dalam kondisi temperatur tinggi atau kekeringan, atau pisang bisa disilangkan dengan virus yang berfungsi sebagai vaksin bagi mereka yang mengonsumsinya.

Namun, para pengkritik teknologi ini memperingatkan bahwa hal itu berpotensi menghasilkan protein baru yang mungkin bersifat alergi, atau sebaliknya berbahaya bagi kesehatan manusia. Para pendukungnya membalas bahwa hal ini juga terjadi pada persilangan konvensional, yang berlangsung selama berabad-abad.

Pendapat ilmiah masih terbelah terkait tingkat risiko itu, namun mayoritas para peneliti di Amerika Serikat mengatakan belum ada bukti meyakinkan atas dampak yang membahayakan kesehatan. Namun karena teknologi yang relatif baru itu, mayoritas ilmuwan sepakat tes yang ketat perlu dilakukan pada basis kasus per kasus untuk menjamin keselamatan.

Masalah utamanya, Food and Drug Administration atau BPOM Amerika Serikat, masih bergantung pada produsen makanan RG untuk menilai keselamatan produk yang mereka miliki. Tidak ada verifikasi independen atas penilaian industri tersebut.

Maka tak mengejutkan ketika beberapa kelompok publik yang menaruh perhatian, bersikap skeptis atas aturan yang dibuat sendiri dan mengusulkan aturan yang lebih ketat. American Academy of Enviromental Medicine saat ini menyerukan moratorium makanan hasil rekayasa genetika, yang sebelumnya studi independen ini tertunda lama, guna menilai dampak makanan tersebut terhadap kesehatan manusia.

Namun bagi banyak orang, kontroversi terkait rekayasa genetika ini melampaui pertanyaan ilmiah dan menyentuh keyakinan fundamental mengenai integritas sifat alamiah dan batasan teknologi manusia. Beberapa, seperti para pendemo di Filipina, tampaknya memiliki keyakinan religius bahwa mengacaukan tatanan kehidupan merupakan kesalahan – bahkan jika itu menciptakan makanan yang berpotensi menyelamatkan seperti Golden Rice.

Penelitian dasar mengenai Golden Rice berawal dari satu setengah dekade lalu dan sesungguhnya didorong oleh perusahaan raksasa pertanian seperti Monsanto dan Syngenta serta LSM global termasuk Rockefeller dan Ford Foundations serta Bill and Melinda Gates Foundation.

Kendati demikian, proyek itu tetap sangat kontroversial. Sekarang, lebih dari 10 tahun setelah dipuji sebagai lompatan besar dalam sektor agrikultural dalam kisah utama majalah Time, Golden Rice belum bisa menjadi hidangan makan malam bagi mereka yang membutuhkannya.  

Hambatan teknologi serta paten dan regulasi terhadap pengembangan serta penggunaannya terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan. Resistensi publik juga lebih keras. Perjuangan kelompok aktivis Greenpeace berhasil menghambat produser beras terbesar dunia, Cina, dari mengadopsi padi rekayasa genetika. Bahkan pengkritik moderat seperti guru makanan alami Michael Pollan mempertanyakan kemanjurannya.

Pollan baru-baru ini menulis di New York Times bahwa Golden Rice bukanlah “aplikasi mujarab seperti yang dipikirkan semua orang.” Secara bijak dia berpendapat, bahwa tanpa memperbaiki pola makan secara keseluruhan dan mengatasi kemiskinan Dunia Ketiga, menambahkan beta-karoten ke beras tidak cukup mengakhiri malnutrisi.

Dia juga menunjukkan bahwa beras merah, yang secara kandungan nutrisi lebih unggul dibandingkan Golden Rice, sebagian besar dijauhi oleh konsumen beras. Maka hanya sedikit alasan untuk berpikir bahwa varietas yang direkayasa secara genetika, dengan warna aneh pula, akan berdampak lebih baik.

“Saya bukannya takut atas hal itu,” kata Pollan. “Saya hanya berpikir produk itu hanyalah kemilau kecanggihan teknologi negara Barat.” Lebih baik mendorong orang untuk makan varietas buah-buahan dan sayuran yang kaya vitamin, seperti disimpulkannya, daripada memanipulasi beras ke dalam produksi nutrisi mikro tunggal yang alam tidak pernah berniat melakukannya. 

Bagaimana pun juga, faktanya, banyak orang di Bumi belahan selatan tidak mampu memenuhi pola makan yang berimbang, atau tidak memiliki akses ke pasar tempat produksi kualitas baik bisa dibeli. Suplemen Vitamin A sudah terbukti menurunkan tingkat kematian anak dari seperempat menjadi sepertiga. Jadi bukankah ini waktunya memberikan peluang bagi Golden Rice?

Sayangnya hal itu kemungkinan belum segera terjadi. Penentangan terhadap makanan rekayasa genetika semakin meningkat. Lebih dari 60 negara, termasuk Uni Eropa, Cina, Rusia, dan Brasil, sudah melarang atau membatasi penjualannya. Di Amerika Serikat, dewan legislatif negara bagian Connecticut dan Vermont menyerukan pemberian label bagi semua makanan RG, dan 28 negara bagian lainnya saat ini sedang mempertimbangkan aturan serupa.

Ironisnya, mayoritas penentang sengit atas teknologi ini berada di Dunia Ketiga – yang sebagian besar bisa mendapat manfaat dari hal itu. Pakar biologi India, Vandan Shiva menyebut Golden Rice sebagai “kuda Troya”, yang tujuan sebenarnya untuk memenangkan dukungan bagi rekayasa genetik. Dia menyebutnya sebagai “penipuan” yang dilakukan perusahaan-perusahaan negara Barat untuk menyingkirkan para petani miskin dan mengonsolidasikan kendali mereka atas agrikultur global dengan mengganti varietas alami dengan benih rekayasa genetik yang dipatenkan, yang tidak bisa disimpan dari panen namun perlu dibeli kembali dari perusahaan itu setiap tahunnya.

Namun pihak lainnya tidak begitu bersikap sinis. “Orang-orang yang mengembangkannya melakukan hal itu untuk alasan yang tepat,” ujar pakar genetika Richard Jefferson dalam Grist. “Mereka sungguh marah karena masalah kekurangan nutrisi mikro. Mereka berada di luar sana di sawah-sawah dan di desa-desa. Setiap pertemuan Rockefeller Foundation dilakukan di negara berkembang, dan kami berada di luar sana, mempelajari banyak hal dengan masyarakat tersebut.”

Jadi tidak demikian, Golden Rice bukanlah penipuan. Namun itu merupakan bentuk kekecewaan. Kekecewaan karena beras ini menjanjikan banyak hal, namun sejauh ini gagal untuk diwujudkan.

Beras ini juga sesungguhnya murni rekayasa genetika secara keseluruhan. “Keajaiban” teknologi yang dijanjikan Big Ag akan meningkatkan hasil pertanian, meningkatkan nutrisi dan rasa, mengurangi penggunaan pestisida, menciptakan tanaman anti-kekeringan dan membantu dunia yang kelaparan.

Rekayasa genetika menjadi landasan bagi keberhasilan komersil di Amerika Serikat – 60 persen hingga 70 persen makanan olahan di rak-rak supermarket Amerika mengandung bahan RG – namun tetap menjadi kegagalan hubungan masyarakat yang mencolok. Itu juga menjadi kegagalan agrikultur, mempercepat penyebaran secara tepat jenis tanaman tunggal yang intensif secara kimiawi dalam skala besar yang berbagai pakar pertanian peringatkan tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Meskipun telah diteliti selama 20 tahun dan 13 tahun komersialisasi, bioteknologi gagal untuk meningkatkan secara signifikan hasil agrikultur Amerika Serikat, menurut laporan terkini dari Union of Concerned Scientist, yang mengatakan bahwa pertanian organik seringkali melampaui produktivitas tanaman RG dalam basis per hektarnya. Atau rekayasa genetika mengurangi penggunaan zat kimia pertanian, seperti yang dijanjikan.

Reuters melaporkan bahwa varietas rekayasa genetika terkenal seperti jagung dan kedelai Monsanto Roundup Ready pada akhirnya membutuhkan lebih banyak herbisida dibanding kerabat konvensionalnya, sebagai akibat pengembangan tanaman yang tahan terhadap “gulma super” yang memerlukan dosis racun lebih tinggi untuk membasminya.

Namun jika rekayasa genetika tidak sesuai dengan apa yang dipromosikan, tanaman itu sudah berhasil menyelesaikan apa yang telah direncanakan  menciptakan tanaman antihama yang sesungguhnya dirancang untuk menghadapi cercaan dari industri pertanian, dan bertahan lama di rak-rak supermarket.

Teknologi itu menjadi keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, Bayer, dan Syngenta – serta para pemegang sahamnya. Entah hal itu bisa menguntungkan bagi kita semua dengan makanan yang lebih melimpah, aman dan bernutrisi, semua itu masih harus didemonstrasikan.

(Richard Schiffman merupakan pengarang dua buku biografi dan seorang jurnalis dengan spesialisasi di bidang lingkungan yang karyanya tampil di New York Times, The Washington Post, National Public Radio, dan berbagai media lainnya. Semua opini yang disampaikan di sini murni merupakan opini pengarang pribadi.) 


LPPOM MUI Halalkan Rekayasa Genetika dan Produknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar